Selayaknya desa-desa di Nusantara, Kecamatan Pantai Cermin juga memiliki cerita rakyatnya sendiri. Seperti cerita Sabai nan Aluih, Malin Kundang, Tangkuban Perahu, dan lain-lain. Kalau ada yang merasa belum pernah mendengar, wajar sekali. Cerita yang ingin kuceritakan ini belum kutemukan dalam bentuk tulisan, berarti besar kemungkinan belum dibuat dalam bentuk tulisan, hanya turun dari kelisanan saja. Hanya saja saya berharap ada versi dan sumber tambahan untuk keperluan penulisan.
Begini ceritanya...
Begini ceritanya...
Surian berada di antara dua barisan pegunungan, sebutlah pegunungan atas dan pegunungan bawah. Pegunungan atas adalah barisan gunung-gunung yang berada ke arah Pesisir Selatan, sedangkan pegunungan bawah adalah barisan gunung-gunung di seberangnya. Konon setiap barisan pegunungan itu dihuni oleh urang bunian, di atas terkenal seorang jawara sabung ayam bernama Bujang Juaro. Kemanapun dia pergi dia akan selalu mengapit ayam aduannya. Dari pegunungan di bawah terkenal seorang yang suka mengadakan perjalanan bernama Bujang Tandang. Sebutlah dia sebagai seorang petualang.
Sekali waktu Bujang Tandang berjalan-jalan hingga sampai di pegunungan atas dan bertemu dengan Bujang Juaro. Seperti namanya Bujang Juaro adalah jawara dari setiap adu ayam yang dilakukan, maka Bujang Juaro menantang si Tandang untuk menyabung ayam. Bukan sekadar menantang tetapi juga mengajak untuk bertaruh. “Kok kalah den dalam pataruahan ko, baok sagalo nan bisa dimakan dari rimbo den ko. Kok ang nan kalah, den pai japuik apo nan dapek dimakan dari rimbo ang,” begitu tantangan bertaruh itu disampaikan Bujang Juaro.
Sayangnya Bujang Tandang tidak memiliki ayam, menolakpun tidak ingin. Lalu timbul pikiran Bujang Tandang untuk menantang bertanding catur, si Bujang Juaro yang lebih awal menantang juga tidak mungkin menolak. Maka sepakatlah mereka untuk bertanding catur dan dibuatlah dari batu meja dan tempat duduk untuk keduanya saling berhadapan. Katanya jika kita berjalan terlalu jauh ke dalam hutan di pegunungan, dapatlah kita menemui batu seolah meja tersebut.
Pertandingan itu akhirnya dimenangkan oleh Bujang Tandang. Sesuai dengan pertaruhan yang sudah terlanjur diucapkan, si Bujang Juaro harus merelakan semua isi hutannya yang dapat dimakan berpindah ke rimba yang ada di pegunungan bawah. Mulai dari durian, duku, rambutan, nangka, dan lain-lain dibawa oleh Bujang Tandang pulang ke bawah, bahkan ikan sekalipun dibawanya. Hingga yang tersisa di pegunungan atas hanya tumbuhan untuk kayu bakar dan lain-lain.
Sampai sekarang pun akibat dari pertaruhan tersebut masih dapat dirasakan. Pernah dicoba oleh penduduk dekat hutan di pegunungan atas untuk menanam buah-buahan, tumbuhnya susah dan buahnya sangat sedikit. Sedangkan hutan di pegununga bawah, melempar biji durian pun dapat tumbuh dengan sendirinya dan berbuah banyak dengan rasa yang manis (ini ceritanya loh ya, aku bukan penyuka durian masalahnya).
Begitulah cerita Bujang Juaro dan Bujang Tandang yang pernah hidup di Nagari Surian, Kec.Pantai Cermin, Kab.Solok. Kuyakin ada banyak lagi cerita rakyat yang pernah hidup di Kecamatan Pantai Cermin, beberapa sudah kudapatkan dari beberapa orang. Banyak yang belum yang akan menjadi alasan untuk selalu pulang ke rumah, jika ada pembaca yang mendapat cerita yang hampir sama atau punya komentar silakan langsung ditulis saja di kolom komentar atau kita bisa bertukar pikiran melalui facebook dan instagramku.
Komentar
Posting Komentar