Akhirnya
bangun dengan hawa hangat kota Padang lagi dan bangun dengan sangat tenang
sekali rasanya. Mungkin dalam 5 hari terakhir ini bangun pagi paling tenang
yang terasa. Selesai juga akhirnya Kongres VI IMABSII di Makassar meski dengan
sangat besar perjuangannya. Aku mau bercerita tentang semua perjuangan yang
terjadi demi ikut dalam kongres ini. Dari mencari dana sampai kericuhan yang
terjadi saat kongres, dan mungkin sampai dengan kepulanganku ke ranah minang.
Biaya
ke Makassar tidak murah dan tidak mudah. Karena bukan bagian dari Himpunan aku
harus memperjuangkan sendiri menghadiri kongres ini. Meskipun sudah mengajukan
proposal ke kampus tapi memang untukku tidak ada alasan lagi untuk diberi.
Sayangnya juniorku di Himpunan juga tak ada yang bisa berangkat. Tapi tak ada
perjuangan yang akan menjadi sia-sia, hal itu sangatlah aku yakini. Jadi aku
berjuang untuk minta sana-sini di luar kampus. Sebab aku bukan hanya membawa
nama kampus, juga membawa nama negeriku. Ilmu dan pengalaman yang didapat di
sana juga bukan untuk kampus melainkan untuk diri sendiri, begitu fikirku.
Untuk pertama kalinya kumintai sepupu-sepupuku untuk menjadi donatur utama
perjalanan kali ini. Juga DPRD kabupaten Solok ikut membantu, selebihnya dari
uang jajan dan ditambahkan oleh Abangku. Lupakan tentang sumber biaya, intinya
ke sana aku harus bermain dengan perasaan harap-harap cemas sampai H-2 acara.
H-2 itu aku masih di Kota Bukittinggi. Masih bekerja ikut dengan abangku yang
lain dalam acara dari BRI Bangko. Tadinya ikut dalam acara itu sembari
mengikhlaskan acara kongres. 2 kali sebelumnya aku juga sempat dalam shalat dan
berdoa berkata pada Tuhan bahwa jika memang ada yang tak baik jika aku
berangkat, aku ikhlas dan minta dikuatkan. Besoknya setelah itu aku mendapat
angin yang membuatku meyakini aku akan sampai ke tanah daeng itu.
Sampai
akhirnya aku mengikhlaskan acara itu yang ketiga kalinya saat ke Bukittinggi
itu. Malam minggu itu sudah teramat pasrah sampai joget bareng peserta acarapun
sudah hilang kendali. Bahkan untuk menangis saat baca puisi di acara itupun aku
mengingat Makassar. Saat penutupun aku menerima transferan dari 2 sepupuku, dan
hari itu aku berhasil mendapatkan tiket pulang-pergi. Dan Senin, 16 April 2018
aku berangkat pukul 19.00 terbang menuju Makassar.
Pergi
dari Padang sendiri tapi mendarat dengan cantik bersama kawan-kawan dari Riau
yang ternyata satu pesawat dari Jakarta. Di jemput baik oleh panitia di Bandara
Internasional Sultan Hasanuddin. Sampai di penginapan sudah pukul 3 pagi hanya
tidur 2 jam saja untuk pembukaan yang menjadi ajang tidur berjamaah. Karena
masih lelah setelah penerbangan dan kurang istirahat malam itu.
Sepanjang
acara awalnya sangat tenang. Persidangan juga sangat baik jalannya. Rasa
kekeluargaan yang didapat di sana tak akan sembarangan ada di tempat lain.
Bertemu dengan orang-orang hebat membuat diri kita merasa kecil dan ingin terus
belajar dari mereka dan situasi. Berbagi cerita himpunan dan mahasiswa antar
kampus membuatku berfikir kapan aku bisa memberi cerita sehebat mereka. Semoga
nanti akan bisa hebat seperti mereka.
Abaikan
cerita itu, bertemu dengan mereka semoga membentuk pribadiku lebih baik.
Sampai
pada sidang pleno pemilihan Sekretaris Jenderal yang baru akhirnya kericuhan
yang luar biasa itu terjadi. Calon terkuat yang dari semarak sudah mulai
menyita perhatian memang akhirnya menang telak. Namun pihak yang kalah
sepertinya tidak terima. Detailnya mungkin sulit sekali diungkapkan. Yang jelas
pada kertas suara yang ke-30 yang dibacakan presidium sidang masuk ke suara
calon nomor 1 seketika lampu di belakang mati dan keributan dimulai bahkan
sebelum semua lampu mati. Beberapa orang mulai maju tak terima dan ruangan
gelap sekali jadinya. Beberapa mungkin mencoba menghidupkan lampu dari HP tapi
tak bisa membantu. Aku berusaha untuk mundur ke belakang karena ada bunyi kursi
terlempar.
Aku
berusaha untuk keluar dari ruangan setelah melihat salah satu yang kukenal
mengarahkan kawannya ke luar ruangan. Selain itu juga sepanjang jalan menuju
pintu ada 2 orang yang cukup meyakinkan aku ada tempat berlindung jika ada yang
mencoba mengejarku atau apalah itu. Suara kursi terlempar jelas sekali kalau
ada pelemparan yang dalam hal ini juga berarti penyerangan. Bahkan aku sempat
tersungkur saking paniknya saat itu.
Sampai
di luar gedung aku dibawa lari oleh beberapa kawan untuk menenangkan diri sebab
aku sesak nafas saking paniknya. Dan setelah kejadian kekesalan makin menjadi
karena satu orang dari mereka mengatakan kalau tak ada penyerangan saat terjadi
kericuhan. Mereka membela dirinya terlalu berlebihan. Padahal tinggal minta
untuk tidak mengungkit saja dulu selesai. Tapi berkoar mengatakan kalau tak ada
penyerangan.
Semoga
menjadi pelajaran saja untuk tidak haus kekuasaan di masa depan. Indonesia
telah banyak memiliki orang yang haus kekuasaan sampai gelap mata begitu. Agar
tidak mempermalukan diri sendiri dan instansi kita sendiri. Dan yang paling
lucunya adalah salah satu dari mereka mengatakan ‘jangan mencoba mempermalukan
kami’ padahal yang mempermalukan adalah dirinya sendiri. Fakta mengenai orang
yang yang membuat ricuh adalah dia sangat amat pengecut. Kalau tidak pengecut
penyerangan dan pelemparan kursi itu tidak harus dalam keadaan gelap-gelapan
agar orang tahu kalau dia berani. Tapi harus dimatikan dulu lampu agar tidak
kelihatan siapa pelaku. Bodoh!
Selebihnya
perjalanan ke Makassar teramat seru untuk dikenang tentang ricuhnya
penghitungan suara itu. Selepas ricuh itu ada hal yang tak pernah kita lupa,
saat kita saling mencari dan mencemaskan satu sama lain. Persahabatan yang
rasanya akan sangat dirindui setiap hari.
Ada
hal yang perlu aku ceritakan lagi. Setelah aku ceritakan sebegini panjang
sepertinya ini tidak akan lama di blog ini, akan kuposting ulang di blog
rahasia.
Di
hari orang ke Rotterdam dan Losari, aku memilih pergi makan Pallubasa Srigala
dan mengademkan hati ke makam Sultan Hasanuddin. Sambil menikmati angin sepoi,
mengingat mati juga. Betapa Ayam Jantan dari Timur ditakuti penjajah, tetap
juga akan dipanggil Tuhan. Akan ada beberapa bagian cerita dari Makassar ini. Semoga
menjadi sejarah. Sebab orang hebat, institusi hebat harus ada perjuangan baik
dan buruknya sendiri.
Komentar
Posting Komentar