(Lanjutan #1)
Sepanjang berkisah, Pandak berkali-kali menanyakan penerimaan Friga tentang kisahnya.
Si perempuan balik bertanya, “apakah kau akan seperti itu? Kalau tidak, apa yang akan diresahkan dengan cerita itu?”
Perihal penerimaan, keluarga Friga memang punya penerimaan yang luas terhadap sesuatu yang masih bisa ditoleransi. Sosok Friga yang tidak-pedulian yakin akan dengan mudah melewati hal-hal yang dicemaskan si laki-laki.
Terlebih dia cukup memelankan suara saat menceritakan, artinya ia menganggap ceritanya aib yang ingin diterima dengan baik oleh Friga sebab orang lain menjelekkannya akibat cerita-cerita itu.
Dua hari tanpa rangkaian pesta yang tidak terlalu menyibukkan di rumah Freyja, memberi waktu luang untuk Friga bepergiandengan Pandak tanpa tujuan. Menjelang siang Friga dan Pandak tetap mampir ke rumah Freyja membantu apa yang mungkin dibantu, atau mungkin untuk sekadar basa basi sebab tak ada agenda siang itu.
Menghabiskan waktu akhir pekan Pandak untuk bisa bertukar cerita, meskipun Friga masih sekadar mmeberikan secuil sekali cerita saat itu.
Sabtu pagi, Pandak datang menjemput untuk makan sate yang katanya salah satu favorit Pandak kalau tak sempat sarapan di rumah. Tak lupa dia membelikan juga beberapa untuk orang di rumahnya.
Yap, tanpa dimintai persetujuannya, Friga dibawa mampir ke rumah dengan alasan dia perlu mandi sebelum ke rumah Freyja.
Malam minggu, malam anak mudah nih. Si Pandak berinisiatif mengajak Friga ke cafe yang cukup berkelas di sana. Berdua. Di snilah, Friga memesan spaghetty dan coffee-latte. Di sana pula Friga berkali-kali ditanyakan kemampuan penerimaannya oleh si laki-laki.
“Aku sudah menceritakan semuanya, aibku, kau bisa menerimanya?”
“Yakin bisa menerima semua aib-aib kami?”
“Aku sudah bukan untuk main-main lagi, bagaimana dengan keluargamua?”
“Apa keluargamu bisa menerima hal seperti itu?”
Dan belasan lagi pertanyaan lain yang kira-kira sejenis itu.
Bagi Friga, hal yang diceritakannya adalah satu dari cerita buruk yang belum seburuk yang pernah dia dengar atau baca sebelumnya. Masih ada batasan toleransinya yang tidak tersinggung oleh cerita-cerita gebetannya itu.
“Ya aku ataupun Ibuku, hanya bisa bertanya balik, apakah kamu akan seperti itu? Atau akan lebih baik dari itu? Kalau kau tidak begitu, atau bisa lebih baik dari itu, tidak akan sulit untuk menerima hal itu. Entah apa kata keluarga besarku, pendapat utama adalah Ibuku sendiri. Lalu apa?”
Tanya-jawab yang terputus karena salah satu Abang angkat si perempuan menelpon panjang lebar untuk bertanya terkait kampus mereka. Selepas makan, Friga membawa pikiran yang berat dengan pertanyaan besar yang dilontarkan berkali-kali padanya. Latte yang diteguk turut mendukung meleknya mata Friga malam itu.
Kepalanya penuh dengan ekspektasi yang sudah dibangun tanpa arah oleh si laki-laki. Pertanyaan-pertanyaan perihal mampu atau tidak memang pertanyaan yang sulit dijawab kontan oleh Friga. Hingga menjelang pagi, matanya tidak terlelap. Duduk di kursi dekat meja sementara ia masih menggeser ruang media sosialnya.
Dia harus bertanya pada dua sahabatnya dan sepupu terdekatnya untuk meyakinkan memang ia dan keluarganya bisa mentolerasi apa yang ada di kisah Pandak. Beberapa kali juga pikirannya melayang ke spaghetty semalam yang memang lumayan enak baginya. Friga jarang menemui menu spageti yang cocok di lidahnya, namun yang semalam cukup berkesan di lidah Friga.
Minggu sore, giliran Friga yang mengajak makan bakso favoritnya yang kebetulan berpindah jualannya ke daerah itu. Kenyang di sana mereka pindah ke cafe lainnya.
Panjang sekali cerita mereka sembari menjelajahi profil media sosial satu sama lain. Perbincangan masih sama sampai akhirnya cerita ringan tentang lingkaran pertemanan mereka punya irisan lain selain Freyja.
Malam itu Friga lebih menekankan perihal kejelasan antara mereka berdua. Ia berfikir kalau waktunya untuk bicara empat mata seperti itu hanya hari itu.
“Emang kurang jelas apa sih, ga?”
“Jawabanmu saat ditanya orang lain itu penting bagiku, tapi setiap ditanya selalu saja kau bercanda, jadi apa fikir orang dengan sikap kita satu sama lain?” jelas Friga yang cukup mendinginkan suasana yang awalnya cukup hangat.
Pulangnya Friga mengambil motornya di rumah Freyja sebab Senin si yang antar jemputnya harus masuk kerja. Sesuatu yang cukup mengejutkan orang serumah terjadi sesampai di rumah Freyja.
Si laki-laki langsung menyelinap mencari Ayah Freyja yang paling sering menanyakan mereka. Dia menjelaskan kalau dia memang mau dengan Friga.
“Yah, saya betul mau dengan anak Ayah,” tegasnya malam itu di depan banyak keluarga Freyja yang masih sibuk mengurusi persiapan pesta.
Masalah selesai.
Oh tidak, masalah baru saja akan diselesaikan. Malamnya dalam ruang obrolan whatsapp, mereka malah membahas irisan lingkaran pertemanan yang mereka temukan di cafe tadi. Beberapa kalimat terasa kosong saja bagi mereka.
Senin, selepas spageti dengan toping belasan pertanyaan dan satu gelas ice tiramisu dengan cerita dari media sosial masing-masing, kemauan yang sudah disampaikan kepada Ayahnya Freyja (yang juga sudah dipanggil Ayah oleh Friga sejak kecilnya) hilang.
Dewa cupit sepertinya tau ada hal baik yang lainnya terjadi pada Friga. Galau? Tentu Friga kembali galau. Hanya saja ia galau karena merindukan orang yang dikejar-kejarnya sebelum ia dikenalkan pada Pandak.
Komentar
Posting Komentar