(Cerpen) Spageti dengan Belasan Pertanyaan #1

“Ini spaghettinya satu dan nasi gorengnya ya, Kak. Tadi latte dan ice tea-nya sudah ya?”


Pramusaji cafe menghidang pesanan terakhir Frigga yang sedang diajak makan malam oleh gebetan yang dikenalkan sahabatnya bulan lalu, Pandak. 


Sebenarnya mereka tidak tinggal di daerah yang sama. Frigga tinggal di ibukota provinsi, sedangkan Pandak menghuni bagian timur provinsi itu. Kebetulan Friga sedang singgah ke kabupaten itu untuk mengikuti rangkaian acara pernikahan sahabat yang mengenalkan mereka.



Perkenalan mereka diawali frustasi si perempuan yang masih kalah menarik dari sebuah mobil yang diambisikan laki-laki yang sudah diupayakannya berkali-kali. Itupun juga karena mengeluh di grup pertemanan mereka. 


Antara Dunn yang sudah menikah, Freyja yang akan menikah, dan Friga yang masih sulit perkara jodoh. Freyja mewanti Friga yang masih ada di provinsi yang sama untuk hadir. Keluhan tidak ada partner membuat

Freyja berinisiatif mengenalkan Friga pada Pandak. Dan pada awalnya komunikasi yang cukup baik terjalin antara dua kawan sejawatnya ini. Maka antara mereka berdua sudah berencana bersua nanti saat hari akad nikah Freyja. Friga sudah berniat untuk menginap beberapa hari untuk ikut menemani sahabatnya menuju pelaminan.

Si perempuan, ia tahu kalau banyak kemungkinan akan terjadi antara dia dan Pandak. Baik ataupun yang baik lainnya. Hanya saja dengan terlalu banyak waktu luang bagi Friga yang tidak memiliki pekerjaan tetap, bertukar pesan menjadi salah satu yang paling sering dilakukan. Bahkan terjadi sampai larut malam, padahal begadang hanya dilakukan Friga kalau ada keperluan saja.


Dari yang awalnya hanya sebatas bertukar pesan melalui whatsapp, Pandak juga sering menyempatkan untuk panggilan video. Yang mana, bagi Friga juga bukan sesuatu yang biasa dilakukan kecuali dengan keponakan-keponakannya. Kesadarannya dengan kemungkinan yang baik dan yang baik lainnya, membuat dia tidak terlalu ingin membagikan cerita di media sosialnya.


Saat pertama bersua pun, Friga hanya membagikan foto kebersamaan mereka dengan menutupi wajah Pandak dengan stiker. Sementara di lain waktu, Pandak membagikan fotonya sendiri dan menandai media sosial Frigga terang-terangan. Cukup mengejutkan baginya yang tidak biasa dipublikasi sebegitu terang-terangan.


Perkara mampir ke rumah pun awalnya tidak diizinkan Friga meskipun Pandak memaksakan diri. Namanya lagi PDKT, Frigga akhirnya mengalah saja. Toh beberapa minggu yang lalu, dua teman laki-lakinya di kampus juga mampir untuk makan di rumah. Hanya saja ini sendirian, hal yang amat tidak biasa bagi Ibunda Friga yang jarang menerima tamu.

 

Singkat cerita, H-1 akad nikah Freyja, Frigga sudah sampai di lokasi acara. Rumah Freyja. Dan akan menginap semalam di kamar pengantin, di lantainya. Setidaknya dia yang menemani overthinking calon anak daro sahabatnya hingga dia ketiduran. Meskipun malam itu dia mendumel kalau Pandak seharusnya datang untuk sekadar mampir membalas temu, sekaligus mengecek situasi kawan baiknya yang akan diperistri orang besok harinya.


Besoknya selepas akad selesai, malamnya Friga pindah menginap ke rumah sahabat Freyja yang lain. Yuna namanya. Oke, di sinilah cerita panjang terjadi dalam waktu yang teramat singkat.  Selepas maghrib Friga pamit ke Ayah-Ibu;orang tua Freyja; dan bersiap mengambil motornya yang terparkir cukup ke pojok.


“Motornya ditinggal saja, bawa helm saja cukup. Biar kamu di motorku,” yakin Pandak mengatakan itu.

“Lah, nanti kalau mau pergi-pergi gimana?”

“Besok Sabtu aku libur, biar diantar jemput saja.”

“Yakin ya?” tegas Friga.


Naiklah Friga ke motor Pandak, sedangkan Yuna di motor berbeda dengan temannya yang lain. Rencana selanjutnya nongkrong malam di cafe yang sering mereka singgahi. Ini nongkrong pertama mereka dan dihabiskan dengan dongeng panjang tentang cerita keluarga Pandak yang cukup rumit. 


Renggangnya ia dan sang Ayah. Kakak laki-lakinya yang beberapa kali membuat ‘prestasi’. Juga bagaimana perjuangannya dengan Ibu dan Kakak perempuannya, yang patut diapresiasi setinggi-tingginya.


Sepanjang berkisah, Pandak berkali-kali menanyakan penerimaan Friga tentang kisahnya.


Si perempuan balik bertanya, “apakah kau akan seperti itu? Kalau tidak, apa yang akan diresahkan dengan cerita itu?”

 

(Next on #2) 

Komentar