Selamat
malam teruntuk Malin-ku yang kini kokoh bersujud di Pantai Air Manis. Aku, si
Putri yang sudah kau dustai. Sepeninggal kau yang mendapat kutukan dari ibumu,
aku tinggal bersamanya di tanah minang ini. Kubiarkan kerajaan yang entah
dimana. Kusedekahkan saja kerajaan itu untuk fakir miskin yang sering
membantuku mencuci pakaian di kerajaan. Aku sudah tak punya ayah, tak punya
ibunda di sana. Sedang di sini, ibumu juga tak punya siapa-siapa. Kami sama.
Jelas sama, kami sama-sama perempuan.
Bukan Malin. Kami sama-sama engkau tinggalkan
sendirian saja. Meski ibumu lebih iba, karena tak punya prajurit setia karena
miskin. Akupun juga selepas aku hanya punya satu kapal layar saja. Kapal tak
berawak. Kukisahkan lagi sejak kutukan itu berlaku padamu, Malin.
Setelah
menikah, kutemani engkau kemanapun berlayar hingga kita mampir ke tanah minang
ini. Tanah yang sangat indah dan teduh lahir batin ini. Orang teramatlah
terpesona dengan suamiku yang gagah saat tak lama setelah turun. Kukira
orang-orang riuh rendah karena ketampananmu dan kecantikan yang aku punya.
Hatiku sangat bangga kala itu. Hingga ada seorang tua berteriak, “Malin, anak
kesayangan den yang tampan, pulang juga waang akhirnya, nak.”
Perempuan
itu mendekatimu bercucuran air mata tapi kau berkilah. Aku sakit hati saat itu,
Malin. Aku tidak tahu kala itu kenapa sakit hati. Mungkin karena aku perempuan
juga. Singkatnya, akhirnya sekarang kau jadi
batu. Seminggu aku bersedih-sedihan kehilangan. Dua minggu setelahnya,
aku bersedih-sedih sembari senyum simpul diceritakan masa kecilmu.
Diminggu
ketiga, aku mengajak ibu mertuaku untuk hidup selayaknya manusia saja. Hidup
mencari makan dan lebih banyak obrolan lain. Di bulan-bulan selanjutnya aku
mencoba mencari-cari hiburan sendiri berjalan-jalan keliling kampung masa
kecilmu yang mungkin sudah berubah. Sesekali aku disapa orang kampung yang tahu
aku adalah putri raja yang menikah dengan Malin, warga kampungnya yang dulu
amatlah manja pada ibunya.
Malin,
sekarang sudah hitungan tahun kau menjadi batu dan aku masih setia untuk
sesekali mampir padamu yang kokoh menghadang ombak. Akhir-akhir ini aku ada
teman untuk mengobrol di dekat kau membatu. Namanya Sutan Saku. Katanya ia
salah satu teman mainmu ketika kanak-kanak meski tidak akrab. Karena ibunya sempat
sama-sama mencari kayu dengan ibu mertuaku dulu. Hanya bedanya ibu mertuaku
mengondang-ondang anak semata wayangnya dipunggung sedang dia sudah tertatih
berjalan kala itu.
Dia banyak
memuji pribadimu, Malin. Selepas kau jadi batu, modern datang sekejap mata.
Benar-benar sekejap mata. Si Saku yang sering menemaniku di PAM saja sudah
membeli sebuah nokia tipe 1200. Meski bunyinya masih tenonet-tenonet ternyata
setelah kubeli juga ada manfaatnya juga. Ibumu juga kubelikan satu setelah
kujual kapal kita pada seorang juragan kaya tempat orang kampung meminjam uang
saat terdesak.
Sewaktu si
Saku ingin membeli hape itu, dia memaksaku menemani. Katanya ingin aku yang
memilihkan nomor hape yang bagus. Katanya ingin aku saja yang memilihkan. Aku
bilang saat itu, “beli sendiri saja.” Tetap saja dia memaksakan keinginannya
untuk menemani. Ini namanya pemaksaan tapi karena dia selama ini baik dan
sangat ramah menemaniku duduk di samping batu si Malin, aku terpaksa mau menemaninya.
Maka
pergilah aku ke pasar Padang berbendi-bendi berdua dengan Saku, berhadapan.
Selama perjalanan aku tidak mengerti ada debar lain yang terasa. Sesekali aku
memanjakan mata ke sekelilingku dan sekali dua kali tenggelam di lautan tatap
yang Saku punya. Dia punya mata coklat yang indah seperti orang bule kata
orang-orang.
Sampailah di
Plaza Andalas, tempat paling modern di provinsi ini di masanya. Di lantai 2,
dia langsung saja berkata pada orang cina yang menjaga toko-toko ponsel meski
yang dipajang baru merk nokia dan sony ericson, karena aku ingin masa yang ada
di ceritaku adalah tidak jelas. Dibelikannya aku sekali dua dan untuknya satu.
Nomor ponselnya kupilih yang mudah dihapalkan dan berderet supaya mudah
mengingatnya.
Meski sudah
kutolak, dia tetap membelikan. Jelas kuterima daripada mubazir. Pulang lagi
kami dengan bendi, saling berhadapan begini aku semakin berdebar saja rasanya.
Hape tenonet
itu juga membuat kebiasaanku berubah untuk beberapa hal. Jam kerjaku di rumah
sedikit kugeser karena sibuk dengan halo-halo itu. Konon dari tengah malam
sebelum pukul 7 ada yang perai di hape itu. Ya untuk menghalo-halo orang
sekitar memang diperaikan oleh kartu yang kami beli.
Aku sudah
terbiasa bangun sebelum adzan subuh berkumandang, biasanya sudah di dapur dan
sebelum subuh segala kebutuhan perut sudah siap untuk sehari itu. Tapi hari ini
aku tergiur menikmati tawaran perai dari kartu yang kami beli di hape itu. Sebangun
tidur aku mengutak-atik hape itu dan menelpon ke nomor ibu meski tidur
bersebelahan, aku ingin membangunkannya pakai hape ini saja. Kan perai,
gumamku.
Karena ibu
terbangun tapi tidak memperdulikan hape-nya. Aku putus asa dan mencobakan
segala yang perai ke nomor hape yang aku punya selanjutnya. Saku. Awalnya aku
berfikir, salah tidak ya kalau aku menghubungi Saku jam segini? Tapi kalau
tidak dipakai sayang sekali.
“Halo Saku,
sudah bangunkah?” ucapku, sedang hape itu kutempelkan di telinga masih berbunyi
“ttuuuttt... ttuuuuttt”. Oh, belum tersambung rupanya. Kutunggu masih belum ada
jawaban dari ujung hape yang di sana.
Beberapa
kali kucoba ke Saku tak jua bisa terhubung. Tidurnya macam orang mati saja,
mungkin. Muncul lagi ideku untuk menelfon Ibu. Sekadar menanyakan dimana
posisinya sekarang. Ah ternyata Ibu masih tak gaul macam orang-orang yang
kemana-mana pegang hape.
Sembari
berlari menuju dapur aku berkata lantang, “Bu, biasakanlah kemana-mana bawa
hape ini, biar kalau dimata orang ibu telah maju dan gaul. Gengsi ibu juga akan
bertambah dengan ini.” Beliau hanya mendesah sambil terus meniup tungku pemasak
nasinya.
Sampai batas waktu yang ada perai-nya itu, aku terus
menerus menelfon Saku. Selepas adzan subuh Saku yang tadinya susah ditelfon
malah menelfon. Hei, kan aku ingin menyicip telfon perai dari hape ini loh.
Telfon dari Saku kurijek saja. Lalu aku yang telfon lagi.
“Saku,
kemana saja kau? Tak tahukah kalau aku ingin mencoba menelfon kau karena perai.
Kalau sekarang sudah hampir siang, hanya bisa menyicipnya sebentar saja.”
Aku
berbicara panjang lebar dengan nada membentak dan Saku diam saja. Seminggu
terus saja begitu. Ke Ibu dan Saku. Sampai akhirnya aku dapati, hape dan jatah
menelfon perai itu sudah membawa Ibu dan Saku ke pemakamanku sendiri. Aku telah
mati oleh kemajuan jaman. Selesailah aku. Sedang kemajuan teruslah berjalan,
pesat.
Komentar
Posting Komentar