Ke Al-manaar, lagi!


Kamis (7/2) lalu aku berkesempatan untuk ketiga kalinya bertemu dan ikut bersama Bu Gemala Rabiah Hatta, anak kedua dari Proklamator Indonesia Bung Hatta. Kali ini Bu Gemala ‘pulang kampuang’ dalam rangka mendampingi KH.Maruf Amin yang salah satu agendanya ke Ranah Minang adalah menziarahi Syekh Abdurrahman dan semua leluhur Bung Hatta. Berarti untuk kedua kalinya aku ikut ke Al-manaar. Ziaah kali ini tidak seperti ziarah sebelumnya, kali ini ziarah kami ramai sekali karena begitu banyak tim pengamanan dan media yang dibawa oleh Kiai, termasuk juga aku yang ikut Bu Gemala.
Agak norak sih menyicip perjalanan sangat singkat dari Bandara Internasional Minangkabau ke Kota Payakumbuh. Betapa tidak, sepanjang jalan menuju Kota Payakumbuh jalanan disterilkan. Kali pertama menikmati perjalanan sekelas perjalanan pejabat tinggi, bahkan aku tak pernah melihat gubernur lewat dengan perlakuan seperti itu. Wajar kalau norak. HAHAHAHAH
Mari kita lanjut bercerita tentang yang lebih iya-iya. Ketika di Almanaar, Bu Gemala merasa kesal karena MA dan rombongan batal melihat ranji keluarga bako dari Sang Proklamator. Ranji itu bisa disebut ranji yang tercatat lengkap dari generasi 1700-an sampai ke generasi Bu Gemala, belum termasuk anak-cucu dari generasi Bu Gemala ke bawah yang juga sudah ramai. Bu Meutia, Bu Gemala, dan Bu Halida sangat membanggakan itu, makanya ingin ikut untuk menunjukkan ranji kebanggaan mereka itu. Karena kebanggaan mereka tidak jadi dilihat karena beberapa hal Bu Gemala agak kesal.
Dari Al-manaar berlanjutlah rombongan Pesantren Syekh Sulaiman yang berada di Canduang. Lalu setelahnya di Rumah Kelahiran Bung Hatta di Bukittinggi. Tempat yang kalau kata orang kekinian menyebutnya ‘homie’ sekali padahal itu bukan rumah tinggal, luar biasa nyaman sekali di sana. Begitu juga kata Bu Wury Handayani, istri dari Maruf Amin, ketika di lantai dua kepada Bu Gemala. “Rumah ini hangat sekali ya rasanya, rumah yang lain kan juga banyak dibuat seperti ini, tapi tidak pernah sehangat ini. Mungkin karena orang-orang di sini tuh semuanya tulus sekali ya,” begitu dengan mata berkaca-kaca. Hatiku juga haru sekali mendengar komentar Bu Wury, padahal Bu Gemala terlihat biasa saja mendengar itu. 
Foto ketika di RKBH, Bukittinggi.

Nah, di lantai dua RKBH inilah Bu Gemala diberi pertanyaan sulit, menurutku. Didampingi Bu Wury, Bu Gemala ditanyakan oleh wartawan dengan pertanyaan seperti ini: dengan ikutnya Ibu dengan rombongan MA ke Sumatra Barat, apakah merupakan sebagai dukungan Ibu terhadap beliau? Aku sedikit tergelak dengan pertanyaan ini meskipun sebelumnya sudah mengira akan ada pertanyaan seperti itu. Lalu dijelaskan oleh Bu Gemala bahwa beliau mendampingi Pak MA dan rombongan karena untuk mendampingi silahturahmi ke pesantren Almanaar yang merupakan keluarga dari Bung Hatta.
“Ini kan karena silahturahmi, karena Bung Hatta itu kan milik semuanya.” Begitu kata beliau. Saat ditanyakan ‘jadi apakah Ibu menjadi pendukung dari Jokowi-MA atau Prabowo-Sandi?’ dan dengan tegas dikatakan oleh Bu Gemala, “NO COMENT!” sambil tertawa dan berlalu. Aku juga tertawa karena memang mulai kenal dengan Bu Gemala yang tipikalnya memang blak-blakan. Hal yang membuat saya betah dan selalu menyenangkan menghabiskan waktu dengan beliau.
Teringat oleh saya cerita ketika kita di Pesantren Syekh Sulaiman, Bu Gemala masih menceritakan kekesalannya pada satu orang ketika di Almanaar karena mengulang doa, padahal Kiai sudah berdoa sebelumnya. Selain itu kata sambutan yang panjang sekali. Lalu ada satu kalimat yang seolah mengampanyekan MA di makam Syekh Abdurrahman dan lainnya. “Dia lagi ngomong semoga Abah terpilih bla bla bla di sana, lalu nanti ketika Sandiaga ke sana dia mau bilang gitu juga? Nanti terkesan keluarga Hatta memihak salah satu pihak lagi, sebel banget aku, padahal Hatta itu milik semua orang, bukan memihak golongan manapun,” cerita Bu Gemala. Begitulah beliau bercerita di tengah lapangan Pesantren Syekh Sulaiman kepadaku, Pak Iqbal, juga Pak Zainal Abidin (salah satu tim MA dari Jakarta). 
Lain lagi ketika dalam perjalanan, Bu Gemala mungkin ada dua atau tiga kali mengucapkan hal ini: ‘siapapun yang memimpin, yang penting jangan sampai orang asing yang menguasai kekayaan bangsa kita, Bung Hatta aja cuma mengizinkan asing 5 tahun di sini dan harus mendidik anak bangsa, setelah 5 tahun mau tidak mau harus angkat kaki dari sini dan diteruskan oleh anak bangsa kita sendiri.” Begitulah sering beliau bercerita.
Catatan penting yang kuambil dari setiap obrolan dengan anak-anak Bung Hatta, Indonesia harus tetap utuh dan berdikari. Indonesia bukan merdeka dengan santai, ada banyak jutaan jiwa yang sudah rela berkorban demi bangsa ini. Jangan hanya karena hal sepele malah pecah Bangsa Indonesia yang tercinta ini. Tentu banyak hal yang telah diceritakan Bu Gemala, juga Bu Meutia yang juga sudah beberapa bertemu, intinya sebagai orang yang akan selalu mengenalkan diri dengan nama Bapak selalu bangga dan bahagia bisa menemani Bu Meutia dan Bu Gemala, dengan Bu Halida sih belum pernah bertemu sebelumnya. Semoga lain waktu dapat bertemu dan bercengkrama seperti dengan dua kakak beliau. Selalu ada hal yang membuat aku semakin mencintai bangsa ini terlebih pribadi Bapak Bangsa ini.
Sebenarnya banyak hal yang ingin kuceritakan, hanya saja terlalu bahaya untuk diceritakan ke publik oleh orang sepertiku. Cukup menjadi ilmu bagiku dan orang-orang sekelilingku saja, selebihnya banyak orang yang lebih patut menceritakan itu ke ruang umum. Terima kasih telah membaca tulisan ini.

Komentar