Menonton Penyalin Cahaya a.k.a Photocopier (15/10)

Perlu banyak sekali review yang tanpa sengaja lalu lalang di instagram untuk membuatku singgah di film Penyalin Cahaya alias Photocopier. Beberapa orang juga rekomendasikan film ini padaku. 
Luar biasa sekali sih makin ke sini film-film Indonesia udah makin ciamik. 


Film ini mengingatkanku pada film Perfume: A Story of Murderer. Obsesi pada karya yang mengorbankan orang lain. Ya meskipun tidak sesadis film Perfume ya kan. Cuma tetap merugikan orang lain demi karya adalah hal gila. 

Bedanya kalau film Perfume si Grenuille membuat parfume dari tubuh perempuan-perempuan cantik, di Photocopier membuat instalasi foto dari foto-foto tubuh orang lain. 

Alur ceritanya tidak membosankan sama sekali. Bikin gregetan juga karena kita tahu beberapa yang ditampilkan di dalam film ini pasti pernah kita temui di kehidupan nyata. Banyak pula. Hehe. 

Dengan jajaran pemain yang menjanjikan film ini juga bermain di kawasan kode atau tanda. Sebab penyelesaian film saja tanpa ada percakapan apa-apa namun sarat akan makna yang bebas kita maknai seperti apa. 

Unsur tokoh di film ini pun aku merasa sangat lengkap. Contohnya saja tipikal orang tua pada umumnya bisa ditampilkan oleh orang tua dari satu tokoh. 


Aku juga menyukai tokoh Anggun dan Fara. Sadis, sinis. Tapi baik sekali dalam hatinya. Apalagi Fara yang dari awal sudah ikut kasih peringatan ke Suryani tentang pergaulan di teater. Kasih saran tanpa alasan jelas ya mana orang percaya,  Far! 

Film ini benar-benar mengajak kita untuk menebak siapa yang mengerjai Sur saat pesta perayaan Matahari. Membangun asumsi-asumsi di kepala.. 


Sempat mencurigai Mimin awalnya, tapi dipatahkan alasan mereka sudah berteman dari SD. Sempat juga mencurigai Thariq dan Papa-nya Rama. Sampai aku mencurigai Rama karena dia yang terlalu peduli dengan Sur yang masih anak baru di komunitas teaternya itu. 

Sayang sekali uang benar-benar bisa berbicara dan berkuasa sebegitu kerasnya untuk membungkam semuanya. Meskipun agak terkejut dengan adanya sosok Rama dan obsesinya dengan objek foto yang dia inginkan. 


Ceritanya menurutku padat sekali sampai aku berharap ada  kelanjutan atau sekuelnya. Tidak ada celah untuk kita berhasil menebak, setidaknya yang aku rasakan begitu. 

Aku penasaran apa yang terjadi dengan Ibu dan Bapak-nya Sur. Bagaimana Fara dan Tariq? Atau apa respon kampus terhadap bentuk protes yang dilakukan Sur, Fara, Tariq, anak-anak teater, dan seluruh mahasiswa kampus? 

Apa juga yang terjadi dengan Imin si tukang fotokopi? Yang pasrah mesin fotokopinya dibawa begitu saja oleh Sur dan Fara? Hahaha. 


Aku cukup penasaran dengan itu semua, atau bahkan  beberapa bagian cerita lainnya yang melintas melalui kode-kode itu. Gokil sih ini film menghidangkan protes sosialnya lewat kode yang tidak semudah itu terbaca. 


Endingnya sih paling pecah sih menurutku. Menyebarkan salinan kasus yang diusutnya sendiri. Setelah banyak usaha untuk melapor selalu digagalkan the power of rich man. Pecah sih itu, asli. 


Eh kayak lagi sering kejadian ya belakangan ini? Ya ga sih? 😆😂 

Komentar