Sori, Cuma Mau Mete-Mete tentang Pembajakan

Kemarin sore seorang penulis ‘mete-mete’ di unggahan instagramnya perkara pembacanya yang masih saja membeli buku bajakan. Jelas dia tersinggung, sekalipun mungkin si kawan yang mengaku penggemar ini tidak bisa membedakan. Padahal beda buku original dari penerbit dan bajakan itu jelas sangat amat berbeda.

 

Sempat juga tidak lama, para sineas yang mengeluhkan adanya bajakan film mereka di media sosial. Film yang punya ratusan menit dipotong-potong menjadi berpuluh-puluh bagian. Padahal ini sudah 2022 dengan segala informasi yang mudah diakses dengan mudah dan murah. Pengetahuan kenapa banyak orang (khususnya orang yang memiliki karya) sangat amat alergi dengan karyanya yang dibajak.

 

Berkarya itu sama sekali tidak mudah. Sulit sekali. Amat sangat teramat sulit. Sebutlah karya apa? Yang betul-betul karya ya, sebab ada yang menganggap unggahan ulang di media sosial doang sebagai karya. Kita sepakat dulu karya itu yang ada prosesnya. Bahkan melukis abstrak yang bagi orang awam (beneran nol ilmu tentang lukis) dianggap gampang itu saja, tetap saja ada proses tidak menyenangkan yang dilewati sama di pelukis. Dan bagi yang awam di bidang itu, ya akan menganggap seremeh itu di semua bentuk karya.

 

Padahal dia harus melihat ratusan, ribuan, jutaan, dll. karya sebelum akhirnya dia bisa punya ide. Lalu mengeksekusi ide itu, kalo istilah Uda JS Khairen yang kemarin saya temui di acara Gramedia, ide itu seperti dari dimensi yang berbeda lalu memilih manusia mana yang akan dijadikan inangnya. Dia akan berpindah-pindah dari satu inang ke inang yang lain sampai ada inang yang mempertanggungjawabkan ide tersebut kepada karya.

 

Gampang? Jelas tidak. Kalaupun orang yang menjadi inang bertanggung jawab pada idenya, dia pasti harus mencari hal-hal terkait dengan ide tersebut. tanya sana-sini, mencari referensi, dan meramunya. Halah, tinggal bikin kok--- COBA BIKIN GIH BURUAN!!!

 

Kembali pada pembajakan buku, padahal nih rugi sekali membeli buku bajakan itu. Jelas kualitas cetaknya akan sangat jauh dari aslinya, lemnya mudah lepas, cetakan sampul buram, bahkan dibanyak kasus halamannya ada yang hilang. Kadang ukurannya juga diperkecil dari yang aslinya.

 

Di masa kuliah S1 dulu, aku punya pengalaman membeli beberapa buku di bazaar murah fakultas tetangga. Di masa masih tolol kalau ini. Beli 100rb bisa punya tiga buku, jelas bangga dong. Tetapi di tiga buku tolol itu, tidak sampai dua hari sudah rusak. Mau komplain? Ke siapa? Tidak bisa karena yang tolol kita. Meskipun harus disayangkan kalau di lingkungan kampus kok jualan bukunya bajakan.

 

Sekarang semuanya sudah dimudahkan untuk banyak hal. Untuk pinjam buku bisa woro-wiri di media sosial. Kalau tidak ada uang sama sekali ya pinjam buku adalah cara terbaik. Dengan syarat ya dikembalikan tepat waktu aja biar bisa meminjam terus-terusan. Jangan nanti kalian pinjam tapi tidak dikembalikan. Mencari lawan itu namanya.

 

Lagian udah banyak akses mudah untuk baca buku-buku bagus seperti di iPusnas, ratusan buku bisa dibaca gratis di sana. ‘Tapi di sana sering antri dan banyak sekali buku yang 0 Copy’, ya itu PR-nya Perpusnas yang harus kita ingatkan lebih sering lagi. Tolong, PERPUSNAS!! Ini curhatan pribadi saya ya, wkwkwkwk!

 

Karya lain yang sering kudengar dibajak adalah film dan musik. Kalau itu sih udah enak sekarang, banyak OTT dengan harga murah bisa menikmati banyak sekali film. Termasuk film-film bioskop yang mungkin kalian rasa mahal itu. Aplikasi musik juga sudah banyak yang gratisan juga kok. Bisa didownload pula agar bisa menonton nanti-nanti.

 

 

Susah woi berkarya itu, aku loh dari bulan lalu premis bahkan plot sudah beres dibantu Benny Arnas, masih belum juga bisa merampungkan naskah sampai saat ini. Semuanya harus dipikirin kalau membuat karya tu, khususnya menulis (karena aku pahamnya sekarang baru itu, itupun dikit-dikit). Mencari namanya aja pusing.

 

JADI TOLONGLAH, KALIAN BELI KARYA YANG ORIGINAL AJA.

BERHENTI BELI BAJAKAN!!!!

Komentar

Posting Komentar