Aku dan Jilbabku, Baca Sampai Habis!

Belakangan sering sekali mematut diri dengan rambut pendek kesukaanku di kaca dan sesekali berfikir bagaimana kalau kembali pada setelan rambut kuncir kuda dengan kaos pendek tanpa jilbab. Tenang pemirsa, itu hanya pikiran di depan kaca semata yang selalu ditepis dengan cerita bagaimana akhirnya keputusan berjilbab ini masuk di kepala.

Kita ceritakan saja di sini. 


Setelah beberapa semester kuliah di S1 dulu memang sempat sebentar belajar menggunakan jilbab, entah apa alasannya waktu itu. Aku lupa betul. Hanya sebentar sampai aku dibagi rezeki untuk bisa ikut dalam beberapa acara yang diadakan di club malam. Selow pemirsa, saya ke sana hanya untuk menikmati panggung musik saja, bukan menikmati joget dengan om-om.

Maka pertimbangan banyaknya agenda ke sana menjadi alasan untuk kembali dengan style rambut pendek, T-shirt, celana pendek, dan sendal eiger si local pride. Suatu moment dengan style begitu seorang yang sangat amat alim sempat berbisik begini pada adikku dalam sebuah forum: “ini berat sekali beban Angga dan Abang nanti di akhirat” sambil melihatku sereng. That shit still alive and I still hate him, too much!  

Nyaman sekali tentunya dengan setelan tomboi begitu. Kemana pergi tak perlu banyak barang yang dibawa. Baik celana ataupun baju, kala itu memang aku suka yang simple saja dan pendek. Jadi untuk dipacking ke dalam tas tidak menghabiskan ruang pula.

Panjang waktu berlalu dengan setelan begitu. Bahkan ke Makassar 2018, aku berangkat ke sana dengan bawaan ringkes serba baju pendek. Foto-foto di Makassar adalah foto trip paling bagus karena cukup membahagiakan. Rambut kuncir, sepatu sport, tas kecil, dan apa-apa ketawa. Berkelas betul dengan muka keras ala warga sumatera dan tampilan tomboi, lalu tiap sebentar bicara dalam forum. Keren banget emang Mami Nami waktu itu. 

                                      https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiz_l0uiXZDvhyphenhyphenj1q2qsVB-y_tw6t4VB0oz_Js_m9VT5N6e0K1fV49ZycyUvT_bpYu4aNlCB1aPEsXQixNy_G7vytF876F38Uoc2VcsTtvx_rkSj_9vffl96rQYbrUC01oiBUkG3VKdPfr9/w808-h606-no/?authuser=0

Sekembali dari situlah, hasrat baik muncul. Kenapa? Agak berat juga membagikan ceritanya sebab dengan yang bersangkutan sudah tidak mau berbaikan lagi dengan alasan yang sudah pernah juga aku tuangkan di blog ini, kalau tidak salah. Intinya dengan teman selama di Sulawesi itu, aku melihat ternyata dengan gamis dan jilbab panjang pun bawaan bisa lebih simpel dibandingkan setelanku saat ini yang kupikir sudah simpel.

Selain itu, ketika siap-siap mau kemanapun, tidak banyak waktu yang dibutuhkannya. Aku sebelumnya juga berfikir berjilbab akan membutuhkan waktu lebih untuk berbenah untuk pergi-pergi. Ternyata terbantahkan selama hampir seminggu kami sama-sama. Berbekal pikiran itu, ada dorongan untuk kembali berjilbab. Dorongan ya, bukan lagi niat. Beda kastanya itu.

Sepulangnya dari sana, aku harus melawan dorongan untuk berjilbab sementara waktu. Posisiku ketika itu sedang di ujung perjuangan kuliah S1. Aku yang sudah mengenal lingkunganku tidak mau ada kata-kata “nah kan ancak Reza pakai jilbab tu” Kalau boleh, aku ingin sekali mencekik orang yang berbicara seperti itu. Pujian yang secara tidak langsug membandingkan aku saat itu dengan yang sebelumnya. Pujian yang sekaligus juga kunilai sebagai hinaan telak. 

Favorite Respon, cuma bisa dilakukan expert!

Aku pernah dengan ketus menjawab kata guruku di sekolah ketika pertama kali melihat aku kembali berjilbab, “emang DEN patang tu dak rancak?” Sosok yang bicara juga memang guru yang tidak aku sukai cara bicaranya.Kebetulan juga saat itu aku ada urusan menjemput Ibuk ke sekolah itu.

Kembali ke dorongan tadi. Akhirnya aku menahan diri untuk memenuhi dorongan itu selama hampir enam bulan selama perjuangan skripsi. Aku sudah meyakini akan ada salah satu dosen yang akan mengatakan itu kalau aku langsung merubah tampilanku lagi saat itu. Apalagi ketika aku membuka jilbab sebelumnya, mereka cukup banyak yang memberikan komentar. 

Day 1 Mantap  Berjilbab

Sesekali jauh, aku mencobakan jilbab di depan kaca untuk menyemangati diri sendiri. Sesekali pula terbayang akan seperti apa dosenku berkomentar. Tidak akan semua sih pasti, dan belum pasti juga akan ada. Hanya saja namanya kita punya pikiran, suka terbayangkan tanpa sengaja. Jadilah beberapa kali pula aku sempat hampir menangis untuk menahan dorongan berjilab itu.

“Saba dih, jak. Salasai urusan kampus, wak pakai jilbab tu baliak.” Begitulah kalimatku berulang-ulang kali dalam berbulan waktu berjalan itu. Sampai akhirnya aku memegang ijazah beserta stok fotokopi berlegalisirnya. Di hari aku selesai betul-betul dengan urusan kampus itulah, sorenya aku langsung pulang dan mengenakan kembali jilbabku. 

BIM, 8 November 2018

Besoknya bahkan aku ke BIM untuk bertemu muka dengan Mas Oncy dan Mas Enda. Sorenya mengajak anak hilang untuk healing ke Pantai Air Manis. Sehari setelahnya merayakan jilbab itu dengan berangkat ke Rakernas VI IMABSII di Kota Malang bersama Vonny, Fathur, dan Dira. Perjalanan terseru. Bahkan si yang meracun untuk berjilbab kembali itu, membelikan sehelai jilbab saat di komplek pesantren Tebuireng, Jombang- Jawa Timur. Katanya kain jilbabnya bagus dan gampang dibentuk. 

Day 2 Mantap Berjilbab

Hingga saat ini, jilbabnya masih dipertahankan. Meskipun sikapnya masih saja sama seperti itu. Masih badau. Pelan-pelan ya permisah! :)

Komentar

  1. Istiqomah ya Uni

    BalasHapus
  2. Beberapa foto emang gak bisa diliat Buk.

    Sama aja cantiknya Buk.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ehhaaa, ini pulak caranya yaaa 🤣 itu udah fakta dari lama ncu, baru ngeh ya? 😏

      Hapus
  3. Hobaaaah tek halllal syar'ieeeh

    BalasHapus

Posting Komentar