Film Idealis Bene Dion: Ngeri-ngeri Sedap (7/10)

Seperti judulnya film ini memang lumayan Ngeri-ngeri Sedap ketika ditonton dan batal aku menyaksikan di hari pertama karena bersyukurnya sebagai Sushimitra diajak nonton bareng di malam minggu oleh radio kesayangan, Radio Sushi FM. Terima kasih tim-nya Sushi FM.

 

Berawal dari celetukan di sela-sela shooting film Comic 8, lalu dirawat baik di kepala seorang Bene Dion Rajaguguk, berakhir di layar bioskop untuk debutnya sebagai sutradara. Hebatnya kerasnya dia mempertahankan konsep di film ini, bahkan kerasnya Bene mempertahankan nama-nama pemainnya. Film idealisnya Bene Dion Rajaguguk. 

Idenya untuk membawa semua tentang Batak di film ini, kurasa berhasil sekali. Konsepsi umum tentang Batak yang selama ini hanya sebatas ulos, fonetik ‘e’ yang selalu terdengar tebal dalam logat yang keras, dan beberapa identik yang biasa ditempelkan pada suku Batak, akhirnya berkembang luas sekali di layar selama hampir dua jam ini. Hei sodara, bisanya Batak itu lembut. Dengarlah obrolan pinggir danau antara Salma dan Domu, mleyot hatiku melihat suasananya. Aku dan abangku sepertinya belum bisa seperti itu wei. HEUHEU.

 


Para traveller pasti guncang dengan bagusnya pengambilan gambar Danau Toba dan jalanan di kampung wisata (aku lupa namanya dan malas searching). Ampun sekali aku menyesal tidak datang ke Kongres IMABSII, harusnya aku kemarin pulang dari sana. HAHAHA.

 

Cerita yang mengenalkan kita pada banyak sekali konflik yang dialami keluarga, khususnya keluarga batak tentunya. Perhatianku tercuri dengan konflik batinnya Salma yang tumpah ruah di satu moment, dia menahan ini itunya karena mengalah untuk dirinya sendiri. Perempuan yang dididik untuk terus mengalah oleh Ibunya, akhirnya tumpah tangisnya. Aduh, itu sih guncang air mata dibuatnya. Tangisku pecah juga meski tidak sealay ekspektasiku.

Meskipun tetap ada komedi yang dirasakan, meskipun air mata tetap ada yang tumpah. Aku tetap saja merasakan sedikit kecewa dengan film ini. Menurutku plotnya ya terlalu mudah untuk ditebak jadi konfliknya ya terasa tipis-tipis saja. Terlebih dasarnya aku bukan batak, ada beberapa hal yang terasa tidak relate sekalipun sudah sering mendengar cerita Agak Laen  yang membahas problematika orang Medan.

 

Tapi itu pendapat pribadi aja ya guys, bukan berarti film  ini jelek. Kerasnya si sutradara mempertahankan lokalitas film ini adalah yang terbaik dari segala unsur filmnya. Bahasa, makanan, kebiasaan, budaya, hingga hal-hal lucu yang khas sumatra, khususnya Batak, terasa sekali di film ini. Barusan aku melihat trailer “Ranah 3 Warna” dengan bahasa Minang, semoga akan menjadi rentetan Sumatra Pride yang memancing lebih banyak karya dengan rasa Sumatra.

 

Waiya, satu lagi yang membuat aku kecewa. Kok aku tidak melihat Oki Rengga  di film ini? Apakah memang tidak ada atau aku saja yang melewatkannya? HAHAHAHAHAHA 


 

Komentar