Lumayan ramai juga yang membandingkan antara film Pinokio yang ditayangkan Disney+ dengan Pinokio yang baru saja ditayangkan Netflix di akhir November kemarin. Banyak yang memuji hebatnya film Pinokio milik Netflix ini, well, sebuah credit yang pantas diterima oleh sutradaranya.
Aku juga turut menjadi salah satu orang yang siap membandingkan kedua film ini. Aku tentu mengenal pinokio dari kartun yang dulu ditayangkan oleh Disney di bioskop dan akhirnya di masa pertumbuhanku beberapa kali juga tayang di TV.
Kalau tidak salah cerita ini berasal dari Italia, sana-sanalah pokoknya. Lalu mendunia oleh tangan-tangan penulis yang menampilkannya ke dalam bentuk buku cerita hingga film.
Kemudian akhirnya tahun ini Guillermo del Toro membawa cerita pinokio dengan berfokus kembali pada alasan Kakak Gepetto yang membuat boneka kayu sebagai ganti kehadiran anaknya yang meninggal. Tentu di sini menjadi pembeda hebat dari Pinokio milik Disney, cerita tentang anak Gepetto. Betapa frustasinya Gepetto dalam kesedihan-kesedihannya.
Kalau di Disney, anak Gepetto cuma diceritakan sudah meninggal dan itu cukup. Bertabur semua kebaikan dan ketulusan seorang Gepetto maka hadirlah Jimmi si jangkrik beserta Ibu Peri yang menghidupkan si boneka kayu. Sehingga semua keajaiban dan hal-hal baik seperti dikaitkan erat, selayaknya film-film Disney yang lain.
Berbeda dengan versi Netflix, dia membawakan kisah yang lebih realistik. Anak Gepetto dihadirkan di awal film sebagai anak kebanggaan, anak yang baik dan penurut. Jadi, meskipun latar cerita tentang Ibunya tidak ada, kita akan menerima saja kalau kehilangan seorang istri tidak begitu membuat Gepetto bersedih karena kehadiran anaknya ini.
Kematian si anak juga digambarkan realistis saja, aku agak takut spoiler di sini, cuma dengan latar cerita yang dipakai benar-benar dapat diterima. Lalu bagaimana respon Gepetto si kakek yang terkenal baik di seluruh desa terhadap kematian ini teramat merenyuh perasaan. Dan dari frustasinya itu keajaiban datang dengan baik-baik.
Perjuangannya menerima kenyataan perihal kematian anaknya ini ditunjukkan sewajarnya yang perlu bertahun-tahun sampai pohon pine yang tumbuh dari pusara anaknya tumbuh besar. Dengan munculnya perasaan frustasi kakek gepetto ini, membuat kehadiran keajaiban di film ini bukan menjadi poros ceritanya seperti yang dibuat oleh Disney.
Dari segi cerita dan perasaannya sih aku sangat menyukai Pinokio versi Netflix ini. Suka sekali. Meskipun kalau secara gambar aku sedikit tidak menyukainya, terasa film-film lama saja. Meskipun latar cerita yang diambil memang tahun lama sekali. Aku memperkirakan latarnya ini masih dalam peperangan Nazi, sebab salah satu karakter di desar Gepetto ini menggunakan atribut Nazi. Tidak tahu benar atau tidak, tapi sesotoynya aku sih begitu.
Bolehlah ya 8.5/10 untuk film Pinocchio versi Netflix. Bisa kali ya kita tunggu tulisan peneliti sastra terkait dua film tersebut, aku sangat menantikan itu sih. Sangat.
Komentar
Posting Komentar